Holla,
Saat menuliskan postingan ini, aku tengah meraba-raba kapan tepatnya terakhir aku jatuh cinta. Ah, mengingatnya saja membuatku pusing tujuh keliling. Belakangan ini, cinta bukan lagi tujuan hidupku. Aku sibuk menata mimpi yang dulu perah kutinggalkan. Aku ingin bahagia dengan mimpiku karena tidak akan pernah ada yang tahu kapan itu akan berakhir.
Bukan berarti aku tak peduli urusan cinta. Sebagai manusia, ada kalanya rasa sepi membelengguku dan mendapatkan sebuah kenyataan aku tak punya seseorang untuk bersandar. Teman? Mana mungkin aku menyandarkan diri 24 jam pada seorang teman. Tentu saja aku menginginkan patner yang bisa kuajak ngobrol di tengah malam atau mendapatkan pelukan hangatnya ketika aku lelah dengan yang kujalani.
Nah, kalau bicara soal cinta pasti sepaket dengan yang namanya patah hati. Nggak bisa dipungkiri. Ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, maka bersiaplah untuk patah hati. Aku memang tidak mendoakan diriku untuk terus-terusan patah hati. Hanya saja mempersiapkan yang terburuk.
Nah, postingan kolaborasi dengan Wulan Kenanga kali ini perihal: Patah Hati Di Usia Siap Menikah.
Baca juga ya postingan Wulan: Patah Hati Di Usia Siap Nikah
Perihal Patah Hati
Saat kamu berada di usia belasan, patah hati itu artinya kamu bisa mencari gebetan lain yang lebih oke dan punya waktu lebih banyak memikirkan masa depan yang lebih cerah. Paling juga nangis beberapa hari lalu sibuk mengejar seseorang yang berbeda. Bahkan di kalangan remaja, berapa banyak kamu patah hati akan menjadi patokan seberapa kerennya kamu. Semacam ajang pengumpulan jumlah mantan pacar atau mantan gebetan.
Beda lagi saat kamu mulai memasuki usia 25 ke atas. Ibarat sebuah perkembangan, usia dua puluh lima itu mirip banget sama perkembangan remaja yang penuh badai dan drama. Salah sedikit kadang menimbulkan trauma. Aku ingat ketika memasuki awal usia dua puluh lima. Media sosialku penuh curhatan soal cinta, apalagi postingan di blog udah kayak diary anak SMA. Usia segitu pasti sudah mulai memikirkan konsep tentang pernikahan. Salah satu mimpiku saat itu adalah menikah muda karena kakak perempuanku menikah sekitar usia 23 tahun. Tapi kenyataannya aku patah hati. Rasanya menyedihkan, membuatku berpikir untuk menerima semua pendekatan dari lelaki yang mengenalku.
I do.
Aku pernah menggilai seseorang di usia itu. Seseorang yang pada akhirnya pergi menjauh.
Memasuki usia 30-an, tekanan akan pernikahan semakin deras. Urusan pacaran bukan lagi bergaya anak remaja. Tujuannya tentu sebuah pernikahan. Mencari seorang lelaki yang menawarkan kontrak seumur hidup. Giliran ada yang mendekati senangnya bukan kepayang sambil berbisik it’s my right man. Yah, namanya hidup ada aja ujian. Ternyata Allah bilang ini belum saatnya. Yah, gagal lagi. Kadang terbesit dalam benak, “ada nggak sih jodoh buat aku?”
Postingan kolaborasi lainnya: Wanita menyatakan perasaan lebih dulu, kenapa tidak?
Bukan bermaksud pesimis tapi namanya kadar keimanan suka naik turun kayak rollercoaster. Ada kalanya percaya sama takdir Tuhan. Ada juga masanya merasa paling tidak beruntung. Ditambah lagi dorongan orang sekitar yang selalu berbisik-bisik “kapan nikah?” makin pusing tujuh keliling.
But. Life must go on.
Kalau di usia mendekati 33 ini masih merasakan patah hati. Mungkin saja Tuhan masih memilihkan lelaki yang tepat untukku. Lelaki yang mampu berjuang bersama demi kehidupan dunia dan akhirat. Intinya mah jangan berburuk sangka aja.
Postingan tentang pernikahan: Saat teman permainan saya menikah dan saya masih sendiri
Salam,
Semoga tak patah hati lagi setelah ini
BalasHapusAminnn
Hapus