Aku bertemu dengannya di hari pertama mengajar. Hari itu untuk kali pertama aku menjadi seorang Guru Taman Kanak-Kanak setelah setahun lulus kuliah. Kupikir saat menyelesaikan studi sarjana, aku akan segera mendapatkan kerja ternyata tidak. Aku harus menunggu satu tahun untuk mendapatkan pekerjaan.
Hari itu aku datang agak terlambat, sebelumnya aku tidak mengetahui letak lokasi sekolah tempatku mengajar. Kami sempat tersesat hingga cukup terlambat sampai di sekolah. Sekolah tempatku mengajar tidak sebesar yang kupikirkan. Luas bangunannya sekitar 44 m2. Saat kali pertama datang, keadaanya tidak sebagus itu.
Aku diperkenalkan kepada rekan sesama guru dan juga murid-murid. Mereka melihatku seperti sesuatu yang baru. Ada yang malu-malu dan ada satu orang anak yang langsung menempel kepadaku. Jujur, aku gugup sekali saat itu. Walaupun aku sudah memiliki rekam jejak yang bagus saat bersama anak-anak. Tetap saja hari pertama membuatku gugup.
Aku bertemu dengannya saat mengajar Kelas TK B. Dia anak yang tidak menonjol. Duduk di bagian belakang dan sering menunduk malu. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas sebab jilbab yang dia kenakan sedikit menutup matanya. Belakangan aku tahu nama gadis kecil itu adalah Wiwin.
Saat istirahat tiba, diam-diam aku mengamatinya. Gadis kecil itu sudah menarik perhatianku sejak awal. Di saat teman-temannya sibuk berlarian atau berkumpul bersama, dia terlihat asyik duduk sendiri di atas ayunan. Tidak melakukan apa-apa hanya diam seperti melamun.
Dari hasil pengamatanku beberapa hari, kudapatkan gadis kecil itu lebih suka menyendiri. Saat temannya mendekat, dia memilih masuk ke dalam kelas. Berdiam di salah satu sudut kelas sendiri. Begitu juga saat pelajaran di kelas. Dia terlihat gelisah saat tidak bisa menyelesaikan apa yang dikerjakan. Tak jarang dia juga sesenggukan.
Gadis kecil ini juga tidak mudah untuk didekati. Setiap kali aku mengajaknya bicara saat istirahat dia hanya diam saja. Terkadang lebih banyak mengacuhkan. Tapi itu tidak membuatku menyerah. Aku terus mendekatinya supaya mendapatkan kepercayaan.
Suatu kali dia tidak bisa mengingat abjad a-z. Dia terisak saat mengetahui beberapa temannya sudah selesai. Aku mendekatinya dan menuliskan abjad a-z kepada di buku dan memintanya untuk menyalin. Tidak hanya kesulitan untuk huruf, dia juga mengalami kesulitan mengingat angka. Lagi-lagi aku membantunya menulis di buku untuk dia salin.
Suatu hari dia ngambek tidak ingin masuk kelas. Sepanjang hari hanya menangis di depan kelas karena tidak ingin ditinggal oleh Ibunya. Beberapa guru membujuknya tapi dia tetap tidak ingin ditinggal. Baiklah, kami akhirnya mengijinkan Ibunya untuk masuk kelas jika dia berjanji untuk berhenti menangis. Dan, itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Esoknya, aku mencoba untuk berbicara dengan Ibunya. Menanyakan tentang perilaku Wiwin selama di rumah dan tidak lupa memberitahu si Ibu tentang permasalahan Wiwin di kelas. Dari situ aku menarik kesimpulan, Wiwin sedang ingin ditunggui oleh Ibunya seperti teman-teman lainnya. Yah, ada kalanya anak itu ingin dekat bersama kedua orang tuanya.
Aku mencoba untuk lebih dekat dengan Wiwin, beberapa kali mengajaknya bermain saat istirahat. Membisikkan dia kata-kata positif untuk membangkitkan kepercayaan dirinya. Satu hal yang membuat seorang Guru bangga adalah bukan mengajar anak yang sudah pintar. Tapi anak-anak yang memulai dari 0.
Baca juga: Patah Hati di Usia 30-an
Wiwin memulai menunjukkan banyak perubahan. Di akhir semester 1, dia sudah bisa mengingat beberapa huruf dan angka tanpa contoh. Dia juga mulai terlihat bermain dengan beberapa temannya. Sesekali juga tertawa. Ah, aku itu sebuah pemandangan yang menyenangkan.
Setiap tahun anak-anak akan tampil untuk Pentas Seni di tingkat Kecamatan. Kali ini Wiwin bergabung dengan Timku. Tim puisi. Selama latihan dia bisa mengikuti walaupun terlihat malu-malu. Sampai pada akhirnya saat gladi resik. Dia terlihat kaget ditonton oleh teman-temannya. Gadis kecil itu menangis dan mogok gak mau tampil. Aku memberinya semangat dan menyuruhnya latihan di rumah bersama Ibu.
Tiba hari perlombaan, salah satu anak yang paling kukhawatirkan adalah Wiwin. Aku takut dia akan tiba-tiba mogok di atas panggung terlebih lagi ada banyak orang-orang asing yang akan melihatnya. Dugaanku salah. Dia memberikanku sebuah kejutan yang sampai sekarang aku ingat. Dia membacakan puisinya dengan sangat lantang dibanding teman-teman lainnya. Tanpa takut dan gemetar seperti saat latihan di sekolah. DI ujung panggung, diam-diam aku menangis. Menyaksikan bocah kecil itu kini mulai dewasa.Aku terharu (bahkan saat menuliskan adegan ini, sudut mataku membasah. Merindukannya)
Semenjak mengikuti acara lomba, aku mengamati bahwa kepercayaan diri Wiwin meningkat pesat. Dia mulai tertawa lebar, berani maju di depan kelas untuk bercerita bahkan dia sudah bisa mengingat huruf dan angka. Luar biasa, kan?
Baca Juga: Gadis Penyuka Hujan
Oh iya, Wiwin lahir dari keluarga menengah ke bawah. Ibunya seorang buruh cuci, sedangkan Ayahnya kuli bangunan. Dia 2 bersaudara. Setiap kali ada acara sekolah Wiwin akan datang sedirian., bahkan saat kami mengadakan pelajaran di luar kelas. Ibunya tidak pernah mendampingi dia. Sang Ibu lebih suka menitipkan Wiwin pada kami. Katanya dia ingin melihat anaknya mandiri.
Beberapa orang tua yang lain pernah mengeluhkan kepada kami. Kenapa orang tua Wiwin jarang sekali (hampir tidak pernah) mengikuti putrinya di saat ada pelajaran di luar kelas. Kami para guru memberikan alasan bahwa ada hal yang tidak bisa dia tinggal. Tapi sang Ibu percaya menitipkan anaknya pada kami.
Wiwin bukan gadis yang rewel. Dia memilih membawa tasnya sendiri ketimbang menitipkan pada kami. Saat aku menawarinya minuman dan makanan ringan. Wiwin menolak dengan alasan dia membawa sendiri. Selama dalam perjalanan bersama kami dia sangat antusias.
Saat dia lulus, aku merasa paling kehilangan. Bangga melihatnya bernyanyi dengan riang di upacara kelulusan. Dia tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria.
Rupanya insting seorang Ibu itu tepat. Setahun setelah kelulusan, aku mendengar kabar duka. Ibunya Wiwin meninggal dunia karena sakit. Meninggalkan dua anak yang masih kecil. Bayangkan, sekecil itu dia harus kehilangan ibunya. Mereka berdua pindah ke Solo mengikuti ayahnya.
Satu hal yang bisa kupetik, bahwa Ibunya Wiwin mungkin terlihat kejam di mata Ibu-ibu yang lain. Jarang mendampingi anak-anaknya untuk kegiatan sekolah. Rupanya, beliau sedang mempersiapkan anak-anaknya untuk tidak manja dalam menghadapi kerasnya dunia di depan sana. Sang Ibu paham bahwa Ilmu saja tidak akan cukup tapi anak-anaknya harusnya punya kecakapan hidup untuk bisa bertahan dalam perjalanan hidup yang panjang.
Kepada Wiwin, apa kabarmu? Bunda Rindu, Nak.
Salam,
Semoga dia bisa bertahan di kerasnya hidup ya mbak. Jadi ikut melow bacanya.
BalasHapusSemoga dia tumbuh dan berkembang menjadi gadis yang kuat
HapusSinggah ke blog ini karena nyangkut di link mbak Vety, hikz...saya nangis baca tentang Wiwin. Semoga dia jadi anak yang baik, aamiin.
BalasHapus