Pengalaman Tragis di Akhir Bulan

Pengalaman Tragis di Akhir Bulan

pengalaman tragis di akhir bulan


Pengalaman Tragis di Akhir Bulan


Saat kuliah dulu, ortu memberikan saya uang jajan sebesar Rp. 300.000 selama satu bulan. Semua itu sudah termasuk uang makan, transportasi, pulsa dan kebutuhan sehari-hari. Entah bagaimana caranya mengelola, pokoknya tiga ratus ribu itu sudah harga mati.

Awal kuliah, saya selalu bareng kakak ke kampus, pun saat pulang. Terkadang untuk menghemat, saya rela tidur di mobil sambil kegerahan untuk menunggu kakak selesai kuliah. Kami beda jurusan dan kadang beda jam pulang kuliah. Huh, capek juga sih kalau nunggunya kelamaan, tapi nggak papa deh setidaknya bisa menghemat uang jajan.

Di awal bulan rasanya tuh bahagia sekali, uang masih banyak jadi kadang suka khilaf buat foya-foya. Membeli hal-hal nggak penting, seperti benda-benda berwarna merah muda. Entah buat apa, pokoknya beli aja. Terus baru sadar di akhir bulan, keuangan mulai menipis dan ujung-ujungnya harus kembali berhemat.

Sebagai mahasiswa kekurangan uang itu sudah kayak trademark meski saya tidak ngekos seperti teman-teman lainnya. Ada saja pengalaman tragis di akhir bulan yang konyol untuk diceritakan. Seperti waktu itu yang menurut saya paling parah.


Kehilangan Kartu Loker Perpustakaan



Hari itu saya ke perpustakaan untuk mencari literatur buat proposal skripsi. Sama seperti peraturan beberapa perpustakaan, kami tidak boleh membawa tas ke dalam. Tas harus dititipkan di loker yang dijaga oleh petugas.

Selesai mengambil dompet, handphone dan buku untuk mencatat. Saya mengambil kartu loker yang diserahkan oleh petugas lalu naik ke lantai 2 di mana tempat perpustakaan Fakultas Psikologi berada. Saya memilih tempat di pojok, meletakan buku catatan sebagai tanda, kemudian mencari literatur yang saya butuhkan melalui komputer.

Keasyikan mencatat membuat saya lupa waktu nggak terasa sudah sekitar jam satu siang. Rencananya mau sholat dulu terus balik pulang ke rumah, sampai di depan loker penyimpanan tas, saya membuka dompet mencari kartu loker. Ternyata kartunya nggak ada, panik dong saya. Akhirnya saya kembali masuk ke dalam. Mencoba menelusuri pelan-pelan lokasi yang tadi saya lewati. Ketar ketir karena menghilangkan kartu loker perpustakaan kena denda Rp. 50.000. Duh, pas buka dompet uangnya cuman sisa Dua Puluh Ribu Rupiah. Hiks rasanya pengin nangis dong.

Setelah berkali-kali mencari, saya menyerah dong. Akhirnya saya bilang sama penjaga loker kalau kartunya hilang. Sempat dikasih kesempatan untuk mencari lagi tapi saya bilang kalau sudah berkeliling 3 kali. Akhirnya saya mencoba menelepon salah satu teman yang kebetulan ada di kampus. Saya menceritakan kejadian yang dialami, untungnya teman saya bawa duit lebih. Kebayang kalau nggak. Bisa nangis beneran saya.

Alhamdulillah bisa keluar juga dari perpustakaan setelah drama kehilangan kartu. Rencana pulang langsung batal, sehabis shalat saya memutuskan main ke lab komputer saja untuk mendinginkan diri dan pikiran.

Sejak tragedi itu, tiap main ke perpustakaan atau ke lokasi yang ada penyimpanan loker saya suka insecure takut kehilangan kartu lagi.


Baca juga:


Menantang Banjir



Keluar dari Lab komputer saya baru menyadari bahwa di luar hujan deras, kebetulan lab komputer kampus memiliki peredam suara jadi nggak bisa mendengar suara di luar. Nah, daerah Darmawangsa, tempat kampus saya berada itu merupakan daerah langganan banjir sejak dahulu kala.

Fyuh, bingung dong bagaimana mau pulang. Kakak menelepon mau menjemput ternyata dia sedang main ke kampus, tapi saya nggak enak sama teman yang tadi meminjamkan uang. Masak iya habis pinjam uangnya saya tinggalkan begitu saja.

Mobil teman saya jenis sedan, nggak mungkin bisa menembus banjir tinggi. Ya sudah pasrah saja menunggu air surut. Lagipula besok libur kuliah. Jam 20.00, kami memutuskan menerobos pulang. Sempat ketar-ketir juga bisa nggak ya pulang dengan selamat menantang banjir,

Sesudah mengisi bahan bakar, kami melanjutkan perjalanan. Eh, ternyata kami ditipu dong, tanda lampu bensin masih kedap-kedip. Jadi, barusan bensin yang kami isi tidak bertambah. Huu sedih di tengah banjir begini. Teman saya yang menyetir mulai panik dong, sambil berdoa saya menenangkan dia.

Akhirnya kami bisa melewati banjir tinggi di daerah Kertajaya. Mampir lagi ke Pom Bensin untuk kembali mengisi bahan bakar. Sisa uang Dua Puluh Ribu saya kasihkan karena uang teman saya hanya tersisa Rp. 50.000.

Setidaknya bensinnya bisa terisi dan cukup sampai rumah.

Hari itu benar-benar pengalaman tragis yang terlupakan sampai sekarang. Kejadiannya juga pas akhir bulan ketika keuangan sudah mulai seret. Kejadian itu semacam pengingat untuk tidak boros menghabiskan uang yang ada. Sering ada kejadian yang tidak terduga.

Kalian ada pengalaman apa soal drama akhir bulan?
Teruntuk Tikha

Teruntuk Tikha

tangkuban perahu, surat cinta, surat, teruntuk tikha, wisata bandung



Dear Tikha,


Tahun ini usiamu genap 36 tahun, usia yang kata orang sudah lewat untuk memasuki usia pernikahan. Beruntung saja kamu tinggal di kota, bukan di desa yang bakal jadi omongan tetangga karena usia di atas 30 tahunan masih betah melajang.

Kadang, aku heran. Mengapa sih orang-orang sibuk menanyakan hal yang nggak penting kepada orang lain? Beneran peduli atau sibuk mencari bahan untuk diomongkan kembali sama orang lain? Entahlah.

Apakah kamu bahagia? Menyendiri selama ini?

Aku tahu kok bagaimana kamu diam-diam di tengah malam yang sunyi terkadang memikirkan hidupmu yang hanya stuck di sini. Di kala beberapa temanmu sibuk merajut kisah cinta dengan pasangan, kamu sendiri hanya berteman kesendirian. Memikirkan apakah nanti akan ada masanya kamu memiliki pasangan yang bisa diajak ngobrol, peluk menjelang tidur?

Tak apa Tikha. Tak ada yang namanya ketinggalan.

Bukankah Kah kamu tahu, Allah tidak pernah ingkar? Mungkin saja dia tengah menyiapkan seseorang yang memang benar-benar tepat denganmu. Allah tidak mau membuatmu tersakiti lagi, seperti dulu. Allah sengaja membawa pergi lelaki yang mendekatimu karena tahu bahwa mereka itu bukan untukmu.

Berbahagialah, lakukan apa yang kamu sukai. Jangan hiraukan apa kata orang tentang dirimu. Kamu tidak butuh validasi dari orang lain untuk merasa bahagia. Kamu yang pegang peranan itu bukan orang lain.

Aku tahu, selama bertahun-tahun kamu hidup dengan prasangka orang. Ketika masih kanak-kanak, mungkin kamu hanya menganggapnya angin lalu bahkan tak segan-segan kamu protes pada teman-teman yang mengejekmu ‘robot.’ i’m proud of you. Kamu belajar untuk mengatakan apa yang tidak disukai kepada orang lain.


Seiring berjalannya waktu, kamu tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Katamu, ‘omongan orang itu tajam, dan kamu tidak ingin tersakiti.’ Kamu memilih menyimpan rapat-rapat semua perasaanmu dan hanya berteman dengan buku diary. Sejak itu kamu tidak menyukai tatapan orang lain yang seolah iba atas kondisimu. Kata orang kamu penyakitan, bodoh dan menyedihkan.

Maaf ya Tikha, saat itu aku tak bisa melindungimu. Aku memilih bersembunyi dibalik ketakutanmu itu, memilih diam, menyaksikan kamu berjuang dengan pergulatan batin masa remaja dan tekanan hidup yang keras.

Aku bersalah. Ketika membiarkanmu memiliki pikiran untuk bunuh diri. Seharusnya., aku yang paling membelamu saat itu. Maaf, aku sama lemahnya denganmu, tapi aku bangga padamu. Kamu bertahan meski rasa sakit tiap malam menderamu.


Terima kasih Tikha, sudah bertahan. Kamu sudah melakukan hal yang terbaik selama ini.

Sekarang, aku semakin bangga padamu. Kamu tumbuh menjadi pribadi yang mulai terbuka dengan orang lain. Perlahan, kamu percaya bahwa tidak semua orang berprangsangka buruk padamu. Aku tahu kamu masih belajar untuk itu. Good job.

Satu lagi, kamu hebat sudah melewati masa-masa pemulihan sehabis operasi. Tetaplah sehat biar kita bisa merangkai hari yang penuh bahagia bersama. Ada banyak impian yang belum kamu penuhi. Mengunjungi negara Jepang seperti yang sudah kamu tulis di postingan blog, menikah dan mengunjungi Baitullah bersama keluarga besar.


Baca juga: A Letter To Hana


Aku dari masa kecilmu akan menjadi saksi dari kebahagianmu itu. Sekali lagi terima kasih sudah bertumbuh dan bertahan dalam waktu yang lama. Aku selalu bangga padamu.

Mari berbahagia, Tikha. Kita sambut usia 36 tahunmu dengan penuh rasa bersyukur karena Allah membantumu hingga saat ini.


Salam sayang, 


Aku dari masa kecilmu.

Tentang Matematika

Tentang Matematika

pelajaran matematika, tentang matematika, kelas matematika


Tentang Matematika dan Didikan Papi yang Keras


“Pelajaran apa yang tidak kamu sukai?”


Tentu saja saya akan menjawab dengan lantang, Matematika.


Saya lupa kapan tepatnya menyatakan ketidaksukaan pada Matematika karena semua masih baik-baik saja saat Sekolah Dasar. Masih menikmati pelajaran yang memang nyatanya membantu menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Namun, seiring waktu mulai muncul permasalahan yang berkaitan dengan pelajaran Matematika. Mulai dari hal kecil sampai membuat saya merasa amat tidak nyaman.

Ortu mendidik kami dengan cara yang bisa dibilang lumayan keras. Keduanya memfokuskan bagaimana kami bisa juara kelas, meski saya tidak ditarget apapun karena kondisi kesehatan, tapi saya tidak mau menjadi bayang-bayang kedua kakak. Saya ingin membuktikan pada ortu bahwa saya mampu.

Setiap sore kami bertiga mempunyai jadwal khusus dengan Papi yaitu menghafalkan perkalian. Mulai dari menyebutkan hingga tebak-tebakan. Jika ada yang terlewatkan alias lupa, Papi tidak segan-segan memukul kaki kami menggunakan pecut/penebah (alat untuk membersihkan tempat tidur).

Buat kami bertiga, setiap sore sudah seperti ruang pengadilan. Menyeramkan karena membayangkan rasa sakit ketika dipukul. Saking kesalnya dengan cara Papi mendidik kami, Mas Wawan membuang pecut tersebut jauh-jauh.

Apakah Papi berhenti?

Oh tidak. Semua itu terus berlanjut sampai SMP.


Sakit Perut dan Nilai Merah Di Raport


Menginjak Sekolah Menengah Pertama, saya mulai merasakan ketidaknyamanan menghadapi pelajaran Matematika, saat itu saya kelas 3 SMP. Guru yang mengajar sih biasa saja, hanya saja kadang beliau suka gemas pada siswa yang tidak mengerti. Setiap kali ada PR atau pelajaran Matematika, rasanya enggan pergi ke sekolah.

Memasuki SMA, kecemasan saya dengan pelajaran Matematika meningkat. Kondisi terparah ketika kelas 2 SMA. Di sekolah kami ada 2 orang yang mengajar Matematika, keduanya sama-sama perempuan dengan usia cukup lanjut. Keduanya memiliki metode cara mengajar yang berbeda.

Guru Pertama, tidak pernah menggunakan kekerasan saat mengajar. Hanya saja cara mengajarnya cepat dan cuek. Mau mengerti apa tidak, itu urusan kamu. Sedangkan, guru kedua kebetulan juga wali kelas. Beliau beberapa kali mencubit siswa yang tidak bisa mengerjakan.

Saat beliau mengajar tidak ada yang bersuara. Seolah-olah semua siswa memasang gelembung udara guna melindungi diri dari tatapan sinar laser Bu Guru. Disuruh maju ke depan sudah seperti hukuman apalagi kalau kamu tidak bisa mengerjakan. Siap-siap saja kulit perut/tanganmu membiru kena cubitan.

Setiap kali pelajaran Guru tersebut, mendadak saya diserang diare/perut nyeri, alhasil saya selalu izin pergi ke UKS. Menghilang tiap kali pelajaran Matematika.

Hal lucu yang pernah dilakukan ketua kelas karena memang tidak suka dengan cara mengajar beliau. Waktu kelas kami berada di lantai 2, ketua kelas mempunyai ide buruk, mengunci setiap pintu menuju lantai 2, supaya guru tersebut tidak mengajar. Astaga. Beberapa kali juga, Ketua Kelas sengaja tidak memanggil Ibu tersebut ketika pergantian pelajaran, sehingga lupa mengajar.

Guru tersebut sudah kayak public enemy bagi para siswa.

Ada kejadian lain yang berhubungan dengan Matematika, waktu itu saya baru masuk sekolah setelah hampir 1 bulan pasca pemulihan operasi. Waktu itu pelajaran Matematika, saat merasa frustasi karena tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh Guru.

Baca juga:

 Pengalaman Mengajar Murid Kembar


Sepulang sekolah saya menangis karena nggak paham dengan apa yang diajarkan hari itu. Mami mendengar tangisan saya dan beliau pun mencarikan Guru Les Privat. Seiring waktu saya mulai kembali mengikuti pelajaran yang tertinggal termasuk Matematika.

Satu hal yang mengejutkan ketika penerimaan Raport Caturwulan I, saya mendapat nilai 4 pada pelajaran Matematika. Untungnya pada caturwulan berikutnya saya memperbaiki semua yah, tetap saja nilai Matematika saya di raport 6.

Kelas 3 SMA, saya masuk jurusan IPA seperti yang diminta oleh Papi. Rasanya tersiksa karena jam pelajaran Matematika menjadi lebih banyak beberapa jam. Untungnya Guru yang mengajar enak, sehingga saya bisa menjalaninya dengan baik.


Mengulang Statistik Hingga 3 x Saat Kuliah



Saya pikir masuk jurusan Psikologi merupakan hal yang tepat karena masuk ke dalam Jurusan Sosial jadi secara tidak langsung tidak terlalu banyak urusan hitung menghitung. Ternyata saya salah.

Di Psikologi ada banyak mata kuliah yang berhubungan dengan Matematika, salah satunya Statistik. Mata kuliah ini dibagi 2 menjadi Statistik 1 dan Statistik 2.

Suasana kuliah beda dengan ketika Sekolah Menengah Atas, cara mengajarnya juga berbeda lebih ke based experience, tapi tetap saja untuk kuliah statistik saya merasakan cemas. Entah kenapa kayak ada perasaan nggak nyaman tiap kali kuliah statistik.

Pernah dong sudah fokus mendengarkan penjelasan dari dosen tetap saja saya nggak ngerti. Untungnya nggak kebagian ditunjuk sama dosen.

Saat pembagian KHS, saya kaget ternyata nilai statistik saya E, wuih. Perasaan saya rajin mengerjakan tugas deh. Semester berikutnya saya mencoba kembali mengulang dengan beberapa teman, nilai saya naik dong jadi D. Hahah.

Berhubung mata kuliah wajib, mau tidak mau saya harus mengulang meski rada malu karena harus mengulang sama adik kelas. Saat kuliah milih duduk di bagian belakang, malu sama para adik-adik. Alhamdulillah hasilnya bagus, nilai saya jadi A/B,

Buat saya pelajaran matematika itu masih tetap menakutkan, mungkin efek dari pola asuh masa lalu membuatnya menjadi sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Padahal pelajaran berhitung lainnya tidak masalah bagi saya. Entahlah.

Kalau kalian ada pengalaman buruk nggak tentang matematika?
Pengalaman Umroh yang Tidak Terlupakan

Pengalaman Umroh yang Tidak Terlupakan


Pengalaman umroh tidak terlupakan, umroh


Konsep Rezeki Nggak Sama Dengan Logika Matematika



“Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai.”


Pada ingatkan sama kata bijak di atas yang kayaknya sering banget diucapkan sama banyak orang. Kata bijak di atas itu kayak semacam pengingat bahwa ketika kamu berbuat kebaikan maka akan kembali dalam bentuk kebaikan. Sebaliknya, kalau kamu berbuat jahat dengan orang lain, ya jangan salah kalau pada akhirnya kejahatan itu berbalik sama dirimu.

Konsep itu yang sampai sekarang saya ingat.

Kata ortu, jangan segan berbuat baik sama orang karena bisa jadi orang tersebut adalah penarik rezeki bagi kita. Yap, rezeki yang kita miliki itu terdiri dari dua sumber: rezeki yang didapatkan dari pekerjaan dan rezeki yang berasal dari orang lain. Oh iya, sama satu lagi rezeki yang memang sudah dijamin sama Allah, contohnya udara, sinar matahari, air hujan, panca indera, dll. Semua yang harus disyukuri.

Konsep rezeki sendiri itu nggak sama dengan logika matematika, nggak ada yang pasti. Tergantung sama apa kata pemilik Bumi dan Langit. Ada yang dikasih lancar seperti jalan bebas hambatan dan ada juga yang harus menempuh jalan berliku supaya bisa mencapai rezeki itu. Ada juga rezeki yang tidak terduga, tahu-tahu ketiban rezeki. Nah itu dia rahasia dari Allah SWT.


Pengalaman Umrah yang Tidak Terlupakan


Beberapa tahun silam, saya pernah umrah bersama bersama kakak. Kami berangkat berlima sengaja memilih momen yang berdekatan dengan Ramadhan, setidaknya seumur hidup bisa merasakan nikmat berpuasa di tanah Haram.

Berangkat dari Indonesia semuanya berjalan lancar. Kala itu bersama rombongan beberapa orang dari Surabaya. Ada salah satu rombongan yang berusia lanjut, dia berangkat bersama adik/kakak. Sempat mengalami masalah di bagasi karena membawa gunting kuku di tas sehingga digeledah.

Sama seperti Mami, beliau mengalami masalah di kakinya sehingga jalannya melambat dan ditinggal oleh saudaranya. Saya diminta oleh Papi membantu, sepanjang jalan menuju gate, saya membantu menggandeng beliau.

Alhamdulillah perjalanan umroh kami lancar dan mendarat dengan selamat di bandara King Abdul Aziz tanpa kendala apapun. Meski sempat menunggu Papi yang tertahan di imigrasi yang cukup lama, sampai hotel sekitar jam 12 malam.

Dari beberapa kali perjalanan Umrah, bisa dibilang perjalanan kali ini istimewa, bisa bersama keluarga besar yang merupakan momen langka, meski sepenuhnya tidak lengkap tanpa kehadiran keluarga kakak kedua. Ada beberapa peristiwa yang membuatnya menjadi momen yang tidak terlupakan.


Baca juga:



Hotel yang Di Upgrade


Begitu ke luar dari bandara, ketua rombongan memberi pengumuman bahwa ada perubahan hotel yang akan kami tempati. Program Umroh ini seharusnya menginap di Grand Zam Zam Makkah. Namun, ada perubahan karena hotelnya penuh sehingga kami dipindahkan ke Royal Makkah Clock Tower, merupakan salah satu hotel bintang 5 milik keluarga kerajaan. Tanpa tambahan biaya apapun.

Perjalanan Umroh reguler ini terasa VIP. Alhamdulillah.

Dulu, pernah membayangkan seperti apa rasanya menginap di hotel yang berada tepat di bawah Makkah Clock Tower. Eh, beberapa tahun berikutnya sama Allah dikasih kesempatan bisa tidur di Hotel bintang 5 dengan harga kamar semalam sekitar 2 juta rupiah. 

Sayangnya, saya nggak banyak mendokumentasikan penampakan dalam hotelnya karena memang benar-benar ingin menikmati perjalanan kali itu. Semoga ada kesempatan kembali ke sana. Amin.


Bisa Shalat Di Raudah Dengan Puas



Di Masjid Nabawi, ada sebuah tempat makbul untuk berdoa yang menjadi favorit para jemaah dari seluruh dunia, yaitu Raudah. Merupakan area yang terdapat di antara rumah dan mimbar dari Nabi Muhammad SAW. Raudah sendiri berarti taman surga, di mana siapa yang berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Mencapai Raudah tidak semudah yang dibayangkan, apalagi baji jamaah perempuan sebab waktunya dibatasi dan tidak buka selama 24 jam. Tidak seperti untuk jalur lelaki yang lebih leluasa untuk berkunjung ke sana. Hingga bukan hal yang aneh jika tempat ini selalu penuh sesak oleh ribuan orang setiap harinya.

Bagian menyedihkan, beberapa jemaah rela menarik, mendorong atau bahkan menyakiti sesama untuk bisa sholat dan berdoa di bawah pilar hijau. Beberapa kali ke sana, rasanya belum pernah saya tepat sholat di antara pilar hijau tersebut, apalagi kondisi kesehatan dan badan saya yang mungil harus berhadapan dengan wanita-wanita asia yang tingginya menjulang. Saya memilih mengalah, sembari menangis dengan penuh harap bisa berdoa di sana.

Biasanya para wanita bisa berkunjung ke Raudah sehabis Subuh atau menjelang Dhuha. Hari itu kami rombongan dibantu oleh salah seorang Mukimin (orang tinggal di sana) untuk berziarah ke Raudah. Rombongan kami istimewa karena membawa 3 perempuan berusia lanjut (termasuk Mami) yang memiliki masalah kesehatan di kaki sehingga membutuhkan bantuan.

Sebelum masuk Raudah, kami dikumpulkan dalam satu lokasi oleh Askar. Diminta untuk duduk tenang sampai mendapat giliran untuk masuk ke dalam yang perjalanannya lumayan jauh. Sekitar 10-15 menit.

Tiba giliran kami. Saya kebagian menggandeng salah satu jamaah rombongan, sedangkan Mbak Dini, membantu membawakan kursi Mami. Rupanya pemimpin tadi membawa kami lewat jalur khusus, katanya itu jalan pintas bagi orang-orang menggunakan kursi roda atau keadaan khusus. Di depan pintu kami dicegat oleh dua orang Askar, pemimpin rombongan menjelaskan kondisi kami masing-masing. Hanya 3 orang yang boleh masuk, saya dan Mbak Dini ditolak karena terlihat sehat. Mbak pemimpin rombongan tadi menjelaskan kembali bahwa saya dan Mbak bertugas membantu 3 orang lansia ini. Alhamdulilah kami diperbolehkan masuk.

Perjalanan menuju Raudah jadi lebih pendek, kala itu masih belum terlalu ramai sehingga tidak terlalu berdesakan. Satu orang lansia yang bersama kami dicarikan tempat dekat pilar hijau kedua. Sedangkan, sisanya ikut dalam rombongan. Mami dan satu orang lagi tidak bisa mencapai depan akhirnya dikasih barisan kedua. Sedangkan saya dan Mbak Dini berada di barisan paling depan. Saya dan Mbak Dini bisa berdoa dan shalat dengan puas karena mendapatkan penjagaan yang ketat. Rupanya ini jawaban Allah beberapa tahun silam ketika saya pernah menangis di Raudah karena tidak bisa berdoa dengan khusus.

Saya tidak menyesal sepanjang perjalanan harus menjaga rombongan lansia karena rupanya Allah menitipkan rezeki tak terduga melalui mereka. Kemudah-kemudahan ini hadiah yang sungguh tak ternilai melebihi apapun. Di hotel saya dan Mbak masih takjub, sambil bertanya apakah ini mimpi?

Bagi saya rezeki itu bukan melulu berupa materi ada kalanya kejutan-kejutan kecil dari Allah bisa menjadi tak ternilai. Saya mungkin melakukan hal yang sederhana yaitu membantu salah satu nenek yang punya masalah lutut sama seperti Mami, tapi Allah mengganjarnya dengan sesuatu yang di luar nalar.

Yah, begitulah. Jangan bosan berbuat baik dengan sesama karena Allah punya banyak kejutan, seperti pengalaman umroh yang tidak terlupakan.