Holla,
Saya pernah menuliskan di postingan sebelumnya bahwa saya ingin sekali membagikan cerita-cerita yang dituliskan oleh orang lain dalam blog ini. Rupanya, ada seorang sahabat saya yang merespon. Saya bahagia saat mendapati satu pesan di kotak surel yang menyatakan bahwa Dia ingin membagikan sebuah cerita kepada para pembaca.
Yeay. Ini adalah surat pembaca pertama yang tayang di swastikha. Semoga kalian yang membaca ini bisa memetik inspirasi.
Selamat Membaca.
*******
Tidak pernah terpikir
dulu saya ingin menjadi Enterpreneur. Malahan figur yang sering saya lihat
adalah seorang ibu yang begitu sayang pada anak-anaknya. Seorang ibu yang bisa
mendengarkan semua keluh kesah yang saya rasakan. Menghentikan kesedihan dan air
mata saya. Sampai di saat saya SMP berkata:
"Ma, Ani pingin
jadi ibu rumah tangga seperti mama"
Lalu herannya ibu saya
malah melarang saya untuk menjadi seperti dirinya. Meyakinkan bahwa saya harus
bekerja, karena jaman sudah berubah. Menjadi wanita karir di era saya dipandang
sebagai hal yang biasa. Dan karena 'biasa' itulah maka saya diharapkan jadi
wanita karir. Dan kebanggaan ibu di saat beliau bisa membelikan mainan / barang
yang berasal dari keringatnya sendiri. Namun, sebenarnya tidak hanya itu alasan
beliau.
Beberapa alasan
lainnya mengenai besarnya tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga sebenarnya
cukup logis. Sempat saya mematahkan beberapa alasan tersebut, karena saya
menganggap ada nilai lebih bila kita murni menjadi seorang ibu dirumah tangga.
Nilai lebih itu adalah, saya mendapatkan 100% didikan dari seorang ibu yang
penuh kasih sayang yang mampu memenuhi semua kebutuhan fisik dan psikologis
anak-anaknya selama di rumah DI SETIAP WAKTU.
Yang nyatanya itu
berefek baik bagi kehidupan saya. Beban moral yang besar kita berbuat salah,
baik dihadapan beliau atau tanpa sepengetahuan beliau. MORAL. Itu penting
sekali, apalagi saya adalah seorang Wanita. Bukannya moral Pria lebih mudah,
namun secara fisiologis wanita memiliki harta/perhiasan yang harus ia jaga,
yaitu Keperawanan.
Lah, judulnya memilih
jadi Enterpreneur, kok sekarang malah bahas moral bahkan perawan?
Terus terang saya
menikmati prestasi saya di setiap tahun. Nilai raport saya selalu di atas
rata-rata dengan Rangking 1-3 dari SD. Tes IQ saya tergolong cerdas,
Bahkan saya memperoleh rangking 1 Paralel satu sekolah dimasa SMP. Ibu saya
melihat kemampuan itu, sampai pernah mengatakan bahwa saya Angel bagi dirinya.
Itu juga salah satu jawaban ibu tidak meyakini saya sebagai ibu rumah tangga.
Lulus kuliah saya
cukup idealisme menjalani pekerjaan saya. Dua instansi yang pernah saya
singgahi adalah pertama klinik nasional perawatan dan kecantikan highclass bergengsi berlokasi di
Surabaya. Kedua adalah Bank Swasta
terkemuka. Prestasi saya di bidang karir untuk mencapai target tidak perlu
diragukan, hanya saja saya terkendala dengan jarak. Saya tidak bisa tinggal
jauh dengan orangtua, sehingga bila ada tawaran kenaikan jabatan, kemungkinan
untuk berpindah tempat itu sangat minim.
Bukannya saya ingin
bermanja-manja dengan kedua orangtua saya, atau tidak bisa pergi kemana-mana
sendiri. Justru saya sangat mandiri. Saya hanya berprinsip ingin merawat
beliau, kedua orang tua saya. Bila saya kerja menetap di luar kota/pulau pasti
mendapat gaji besar, tapi menurut saya itu tidak sebanding dengan kedekatan
saya yang bisa setiap waktu memeluk dan mencium tangan dan pipi orangtua saya.
Bahkan bila saya hitung, gaji besar itu menjadi biaya perjalanan PP untuk
pulang pergi ke kampung halaman yang setahun bisa dibatasi beberapa kali.
Ribet amat sih Mel,
mau jadi pegawai? Iya. Itulah pemikiran awal saya, orientasi saya. Prestasi.
But if i have option for more closure with parents. I take it. Terkadang hati
ini berpikir, kenapa saya tidak mempromosikan perusahaan saya sendiri? Tapi di mana
perusahaan saya?
Berawal dari itu
mulailah saya mengasah kemampuan berbisnis saya yang sempat terkubur oleh
waktu. Untungnya mental saya sebagai pebisnis masih hidup, yaitu "Tidak
malu selama itu adalah pekerjaan halal"
Seiring berjalannya
waktu, saya menikah dan melihat wujud anak saya perempuan. Itu semakin
meyakinkan saya bahwa saya harus membesarkannya dengan penjagaan yang lebih
ekstra, dan saya harus pegang mereka dengan kedua tangan saya sendiri, agar
segala sentuhan dan bonding kami semakin kuat. Saya harus bertanggung jawab
atas kehidupannya. Makin membuat saya melepas semua pekerjaan yang terikat
waktu. Saya harus menentukan waktu saya sendiri untuk menyalurkan karya saya,
prestasi saya bahkan memiliki penghasilan dari keringat saya.
Thats why I choose
this way.
Be Enterpreneur.
Your think your way
.
Your way, its your
option.
Regards,
Lovely Dewi Adikara. Mulia sekali cita-citamu, Mels. Semoga Allah swt senantiasa membimbing dan memudahkanmu utk meraih segala cita mulia yang ingin kau raih. Amiiin
BalasHapus