Dear Tikha,
Tahun ini usiamu genap 36 tahun, usia yang kata orang sudah lewat untuk memasuki usia pernikahan. Beruntung saja kamu tinggal di kota, bukan di desa yang bakal jadi omongan tetangga karena usia di atas 30 tahunan masih betah melajang.
Kadang, aku heran. Mengapa sih orang-orang sibuk menanyakan hal yang nggak penting kepada orang lain? Beneran peduli atau sibuk mencari bahan untuk diomongkan kembali sama orang lain? Entahlah.
Apakah kamu bahagia? Menyendiri selama ini?
Aku tahu kok bagaimana kamu diam-diam di tengah malam yang sunyi terkadang memikirkan hidupmu yang hanya stuck di sini. Di kala beberapa temanmu sibuk merajut kisah cinta dengan pasangan, kamu sendiri hanya berteman kesendirian. Memikirkan apakah nanti akan ada masanya kamu memiliki pasangan yang bisa diajak ngobrol, peluk menjelang tidur?
Tak apa Tikha. Tak ada yang namanya ketinggalan.
Bukankah Kah kamu tahu, Allah tidak pernah ingkar? Mungkin saja dia tengah menyiapkan seseorang yang memang benar-benar tepat denganmu. Allah tidak mau membuatmu tersakiti lagi, seperti dulu. Allah sengaja membawa pergi lelaki yang mendekatimu karena tahu bahwa mereka itu bukan untukmu.
Berbahagialah, lakukan apa yang kamu sukai. Jangan hiraukan apa kata orang tentang dirimu. Kamu tidak butuh validasi dari orang lain untuk merasa bahagia. Kamu yang pegang peranan itu bukan orang lain.
Aku tahu, selama bertahun-tahun kamu hidup dengan prasangka orang. Ketika masih kanak-kanak, mungkin kamu hanya menganggapnya angin lalu bahkan tak segan-segan kamu protes pada teman-teman yang mengejekmu ‘robot.’ i’m proud of you. Kamu belajar untuk mengatakan apa yang tidak disukai kepada orang lain.
Baca juga: Saya Rindu Jatuh Cinta (Lagi)
Seiring berjalannya waktu, kamu tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Katamu, ‘omongan orang itu tajam, dan kamu tidak ingin tersakiti.’ Kamu memilih menyimpan rapat-rapat semua perasaanmu dan hanya berteman dengan buku diary. Sejak itu kamu tidak menyukai tatapan orang lain yang seolah iba atas kondisimu. Kata orang kamu penyakitan, bodoh dan menyedihkan.
Maaf ya Tikha, saat itu aku tak bisa melindungimu. Aku memilih bersembunyi dibalik ketakutanmu itu, memilih diam, menyaksikan kamu berjuang dengan pergulatan batin masa remaja dan tekanan hidup yang keras.
Aku bersalah. Ketika membiarkanmu memiliki pikiran untuk bunuh diri. Seharusnya., aku yang paling membelamu saat itu. Maaf, aku sama lemahnya denganmu, tapi aku bangga padamu. Kamu bertahan meski rasa sakit tiap malam menderamu.
Baca juga: Surat Cinta 1: Aku Memilih Pergi
Terima kasih Tikha, sudah bertahan. Kamu sudah melakukan hal yang terbaik selama ini.
Sekarang, aku semakin bangga padamu. Kamu tumbuh menjadi pribadi yang mulai terbuka dengan orang lain. Perlahan, kamu percaya bahwa tidak semua orang berprangsangka buruk padamu. Aku tahu kamu masih belajar untuk itu. Good job.
Satu lagi, kamu hebat sudah melewati masa-masa pemulihan sehabis operasi. Tetaplah sehat biar kita bisa merangkai hari yang penuh bahagia bersama. Ada banyak impian yang belum kamu penuhi. Mengunjungi negara Jepang seperti yang sudah kamu tulis di postingan blog, menikah dan mengunjungi Baitullah bersama keluarga besar.
Baca juga: A Letter To Hana
Aku dari masa kecilmu akan menjadi saksi dari kebahagianmu itu. Sekali lagi terima kasih sudah bertumbuh dan bertahan dalam waktu yang lama. Aku selalu bangga padamu.
Mari berbahagia, Tikha. Kita sambut usia 36 tahunmu dengan penuh rasa bersyukur karena Allah membantumu hingga saat ini.
Salam sayang,
Aku dari masa kecilmu.
Semangat Mbak tikha, kau spesial, kau berharga. Ada kejutan indah yang telah disiapkan Allah untukmu. semoga aku bisa menjadi saksi datangnya hadiah terindah dari-Nya.
BalasHapusAmin ya Allah, makasih mba
Hapus