They Call Me Robot
Saya masih ingat kala itu, baru masuk sekolah setelah sekian bulan berada di RS karena harus menjalani Operasi Jantung Bawaan yang ternyata hasilnya tidak bagus sehingga saya dipasangkan Pacemaker.
Hari pertama di sekolah, semua terasa asing. Rasanya saya tidak mengenali teman-teman sekelas, padahal kami dulu pernah berada di kelas yang sama ketika duduk di kelas 1, Sekolah Dasar. Saya seperti anak baru.
Beberapa teman bertanya, kenapa saya lama tidak masuk sekolah? Mereka tahu saya sakit tapi tidak pernah tahu nama penyakit yang saya derita. Saya yang masih malas menjawab memilih diam.
Suatu hari, Guru sekolah saya menjelaskan bahwa saya habis operasi jantung dan di dalam tubuh saya ditanam baterai. Sontak, mereka menoleh ke arah saya. Memandang seolah-olah saya manusia dari planet mana.
“Kayak Astro Boy dong?” salah satu teman menyeletuk. Diikuti tawa beberapa teman lainnya.
Kalian yang lahir di era 90-an mungkin paham dengan karakter kartun Astro Boy, seorang robot yang bisa terbang ke luar angkasa.
Hari itu, saya mendapat julukan baru dari teman-teman, Astro Boy.
Awalnya saya sik cuek saja dengan julukan itu karena merasa mereka hanya bercanda. Kelamaan, semakin banyak teman-teman yang memanggil saya robot atau Astroboy dan itu amat menjengkelkan. Puncaknya, saya menendang salah satu teman karena merasa sudah keterlaluan. Saya menangis, membela diri bahwa saya bukan robot.
Pertengkaran itu membuat saya dibawa ke ruang Kepala Sekolah, ditenangkan. Kebetulan salah satu Guru di sana adalah kerabat. Beliau langsung menelepon Mami yang tengah kerja. Saya dijemput pulang.
Ejekan itu tidak pernah berhenti, saya kadang masih kesal kalau mereka memanggil saya dengan robot. Namun, teringat nasihat Mami bahwa apa yang diomongin temanmu tidak benar karena mereka tidak tahu sebenarnya kondisi saya sehingga Mami meminta saya mengacuhkannya.
Kelamaan, saya mulai terbiasa dengan panggilan tersebut dan memilih mengindahkannya.
Baca juga:
Pengalaman Mengajar Murid Kembar
Sebuah Janji di Masa Kecil
Teman yang Suka Drama
Memiliki teman yang suka drama buat saya cukup membingungkan sekaligus menyebalkan. Saya seperti diajak bermain tebak-tebakan, kapan dia marah, kapan dia senang atau kapan dia gembira. Pokoknya harus fokus sama dia.
Bisa dibilang, saya itu bukan seseorang bergantung sama satu teman. Teman saya banyak, jadi ketika ada satu yang berulah, saya tidak akan khawatir sendirian. Saya masih memiliki teman lainnya.
Nah, ceritanya saya memiliki dua sahabat wanita yang dekat, sebut saja K dan E. Kami ke sana kemari bersama. Selain E dan K, saya punya teman dekat lelaki, ada si F dan N. Saya sering menghabiskan waktu bersama mereka saat istirahat.
Suatu hari si E ini tiba-tiba berhenti menyapa saya. Pokoknya tiap bertemu, sukanya buang muka. Saya benar-benar nggak tahu salahnya di mana. Saya coba telepon ke rumah si E, telepon saya ditolak. Fyuh. ribet banget ya pertemanan ini.
Kalau tidak salah permasalahan ini cukup lama berlangsung. Rasanya menjelang kelas 6 kami baru berbaikan, setelah saya tahu ternyata si F nggak suka sama tingkahnya E dan mereka ribut pas pulang sekolah.
Curiganya, E ini memang naksir F dan kebetulan F ini sering banget mainnya sama saya. Hubungan yang rumit dan saya kena akibatnya. Tenang saja, sekarang kami sudah baikan.
Yap, itulah beberapa cerita yang saya alami saat duduk di Sekolah Dasar. Ada banyak cerita yang terjadi yang beberapa memang melekat kuat.
Menulis ini membuat saya rindu masa itu
0 Comments
Posting Komentar