Patah Hati, Semanis Apapun Tetap Saja Menyakitkan
Beberapa tahun lalu, saya pikir semua akan berjalan sesuai rencana. Saya menikah. Namun, kenyataan tidak seperti yang diinginkan. Kami putus karena lain hal. Rasanya ada yang berkeping-keping dalam hati. Usia saya 30, mengharapkan dia adalah lelaki yang tepat. Seseorang nantinya bisa menghabiskan sisa umur bersama.
Takdir membawa kami kembali menjadi sepasang asing.
Patah hati bagaimanapun modelnya, tetap saja menyakitkan. Meski berkali-kali pernah merasakan. Bagi saya ini yang terberat. Patah hati di usia 30-an membuat saya sempat kehilangan kepercayaan diri. Tentang sebuah hubungan asmara.
Setiap hari terasa berat, saya hanya bisa menangis tiap kali mengenang dia. Rasanya seakan ada yang hilang. Saya malas keluar rumah, maunya di kamar sembari menangis. Waktu itu keluar hanya untuk makan dan setor muka sama orang di rumah. Selebihnya, saya senang membenamkan muka di bantal dengan cucuran air mata.
Rasanya melelahkan.
Mengutuk Tuhan, sudah pasti. Seminggu pertama itu merupakan masa-masa denial, menolak bahwa hubungan kami telah berakhir padahal sebelumnya baik-baik saja. Tiap hari ada saja keluhan sama Tuhan. Setiap Sholat, past menangis sambil bertanya kenapa kali ini gagal lagi. Nggak ada habisnya.
Belum lagi menjadikan diri sendiri pelampiasan, menyalahkan diri sendiri yang banyak kekurangan sehingga pada akhirnya si dia pergi. Seakan-akan semua permasalahan itu letaknya di saya.
Ya, saya yang menyebabkan hubungan kami berakhir. Kata seandainya itu kayak semacam kata wajib yang selalu menghantui setiap hari. Entah berapa banyak postingan di blog dan media sosial yang telah saya tulis untuk mengurangi rasa gundah dan pikiran yang terus berputar di otak.
Patah hati telah memporak-porandakan hati dan hidup.
Baca juga: Saya Rindu Jatuh Cinta Lagi
Sehabis Patah Hati, Terbitlah Move On
Saat ke toko buku, saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Asma Nadia yang berjudul La Tahzan For Broken Heart Muslimah. Menarik perhatian, membuat saya ingin membelinya karena merasa judul ini tepat buat kondisi yang tengah dialami.
Ada sebuah cerita yang menarik perhatian saya, tentang seorang gadis yang tak jadi menikah dengan lelaki pujaannya. Tepat seminggu menjelang pernikahannya, si lelaki pergi tanpa pesan. Membuat semua rencana yang mereka susun.
Singkat cerita, si gadis tadi menulis pesan pada si lelaki bahwa dia telah memaafkan semua kesalahan yang diperbuat.
What dimaafkan? Gila aja.
Itu kesan saya kali pertama membaca cerita itu. Enak benar, udah nyakitin dan ninggalin eh malah dimaafkan. Rasanya saya ingin memaki.
Kesedihan yang mendalam membuat saya letih, saya ingin bahagia. Saya berpikir ulang, apakah lelaki yang saya tangisi kepergiannya pantas untuk saya miliki? Jangan-jangan cuman saya yang sedih dan dia nggak?
Kalian tahu apa yang pada akhirnya saya lakukan?
Saya mengirimkan pesan kepada si Mantan, menuliskan apa yang jadi unek-unek saya selama ini kepada dia. Di akhir kalimat saya memutuskan untuk memaafkan apa yang dia lakukan, begitu juga saya meminta maaf mungkin yang menyakitkan dari hubungan kami.
Selepas pesan itu terkirim, saya menghapus semua kontak dia bahkan akun media sosial. Pesan itu sengaja saya kirim tanpa memedulikan respon yang akan diberikan. Saya merasa lega, seakan beban itu berat yang menghimpit dada menghilang.
Saya mulai berhenti menangis, mulai mau beraktivitas lebih banyak di luar ruangan. Saya memahami apa yang dilakukan oleh gadis dalam tulisan itu. Memang tidak mudah, karena menurut sebagian orang, memaafkan itu menyangkut harga diri. Tak salah jika Tuhan memberikan hadiah terindah bagi orang pemaaf.
“Memaafkan orang yang telah menyakitimu memang tidak mudah, namun jika itu jalan membuatmu lebih bahagia dalam hidup. Kenapa tidak kamu lakukan untuk dirimu sendiri.”
Apakah kala itu saya langsung Move on?
Bohong banget kalau saya bilang iya. Saya masih sering merasa rindu dan kadang mewek kalau ingat dia. Namun, saya mulai menjalani hidup lebih santai karena bara api yang bercokol di dada sudah mendingin.
Buat kamu yang tengah patah hati, percayalah akan ada mentari sehabis mendung tebal. Semangat.
Baca juga: ketika teman sepermainan menikah dan saya masih sendiri
Mbaksaaaayyy it's a real story about you?
BalasHapusHalah sok keminggris!
Sini peluuukkkk..
cupcup..
Saya suka banget baca cerita kayak gini, bikin saya jadi merasa ketampar.
oh bukaannn!
Bukan karena saya bahagia dengan penderitaan orang, tapi saya jadi semacam diingatkan bahwa everybody has their own battle.
Saya kadang kalau lagi bete dan kesal, berpikir, alangkah senangnya kalau saya nggak nikah, saya masih bebas.
Tanpa saya sadari sebenarnya semua itu tergantung cara kita menyikapi, dan apa yang kita lewati saat ini, adalah yang terbaik untuk kita.
Peluk lagi, insha Allah semua akan indah pada waktunya Mbaksay.
Akan ada orang yang menemukan berlian indah ini dan menyimpannya sebagai kekasih dunia akhirat, insha Allah aamiin :*
amin. Ya, setiap orang mempunyai takdirnya sendiri. Tinggal bagaimana kita menyakini dan menjalaninya
HapusSepakat, Mbak Tika. Patah hati itu berat banget, aku pernah ngerasain juga. Jarang suka sama orang, lalu sepakat merencanakan masa depan tapi dia malah merit sama orang, ya berat banget hati udah kadung terpaut. Hari-hari terberat harus dijalani, kenapa harus terjadi? Andai ga usah ketemu dan suka aja sejak awal, begitu terus mengutuk keadaan. Sakitnya buanget. Namun ya wktu akhirnya yang menyembuhkan. Semangat! Nanti akan ada masanya bergembira.
BalasHapus