Pengalaman Umroh yang Tidak Terlupakan
Konsep Rezeki Nggak Sama Dengan Logika Matematika
“Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai.”
Pada ingatkan sama kata bijak di atas yang kayaknya sering banget diucapkan sama banyak orang. Kata bijak di atas itu kayak semacam pengingat bahwa ketika kamu berbuat kebaikan maka akan kembali dalam bentuk kebaikan. Sebaliknya, kalau kamu berbuat jahat dengan orang lain, ya jangan salah kalau pada akhirnya kejahatan itu berbalik sama dirimu.
Konsep itu yang sampai sekarang saya ingat.
Kata ortu, jangan segan berbuat baik sama orang karena bisa jadi orang tersebut adalah penarik rezeki bagi kita. Yap, rezeki yang kita miliki itu terdiri dari dua sumber: rezeki yang didapatkan dari pekerjaan dan rezeki yang berasal dari orang lain. Oh iya, sama satu lagi rezeki yang memang sudah dijamin sama Allah, contohnya udara, sinar matahari, air hujan, panca indera, dll. Semua yang harus disyukuri.
Konsep rezeki sendiri itu nggak sama dengan logika matematika, nggak ada yang pasti. Tergantung sama apa kata pemilik Bumi dan Langit. Ada yang dikasih lancar seperti jalan bebas hambatan dan ada juga yang harus menempuh jalan berliku supaya bisa mencapai rezeki itu. Ada juga rezeki yang tidak terduga, tahu-tahu ketiban rezeki. Nah itu dia rahasia dari Allah SWT.
Pengalaman Umrah yang Tidak Terlupakan
Beberapa tahun silam, saya pernah umrah bersama bersama kakak. Kami berangkat berlima sengaja memilih momen yang berdekatan dengan Ramadhan, setidaknya seumur hidup bisa merasakan nikmat berpuasa di tanah Haram.
Berangkat dari Indonesia semuanya berjalan lancar. Kala itu bersama rombongan beberapa orang dari Surabaya. Ada salah satu rombongan yang berusia lanjut, dia berangkat bersama adik/kakak. Sempat mengalami masalah di bagasi karena membawa gunting kuku di tas sehingga digeledah.
Sama seperti Mami, beliau mengalami masalah di kakinya sehingga jalannya melambat dan ditinggal oleh saudaranya. Saya diminta oleh Papi membantu, sepanjang jalan menuju gate, saya membantu menggandeng beliau.
Alhamdulillah perjalanan umroh kami lancar dan mendarat dengan selamat di bandara King Abdul Aziz tanpa kendala apapun. Meski sempat menunggu Papi yang tertahan di imigrasi yang cukup lama, sampai hotel sekitar jam 12 malam.
Dari beberapa kali perjalanan Umrah, bisa dibilang perjalanan kali ini istimewa, bisa bersama keluarga besar yang merupakan momen langka, meski sepenuhnya tidak lengkap tanpa kehadiran keluarga kakak kedua. Ada beberapa peristiwa yang membuatnya menjadi momen yang tidak terlupakan.
Baca juga:
Hotel yang Di Upgrade
Begitu ke luar dari bandara, ketua rombongan memberi pengumuman bahwa ada perubahan hotel yang akan kami tempati. Program Umroh ini seharusnya menginap di Grand Zam Zam Makkah. Namun, ada perubahan karena hotelnya penuh sehingga kami dipindahkan ke Royal Makkah Clock Tower, merupakan salah satu hotel bintang 5 milik keluarga kerajaan. Tanpa tambahan biaya apapun.
Perjalanan Umroh reguler ini terasa VIP. Alhamdulillah.
Dulu, pernah membayangkan seperti apa rasanya menginap di hotel yang berada tepat di bawah Makkah Clock Tower. Eh, beberapa tahun berikutnya sama Allah dikasih kesempatan bisa tidur di Hotel bintang 5 dengan harga kamar semalam sekitar 2 juta rupiah.
Sayangnya, saya nggak banyak mendokumentasikan penampakan dalam hotelnya karena memang benar-benar ingin menikmati perjalanan kali itu. Semoga ada kesempatan kembali ke sana. Amin.
Bisa Shalat Di Raudah Dengan Puas
Di Masjid Nabawi, ada sebuah tempat makbul untuk berdoa yang menjadi favorit para jemaah dari seluruh dunia, yaitu Raudah. Merupakan area yang terdapat di antara rumah dan mimbar dari Nabi Muhammad SAW. Raudah sendiri berarti taman surga, di mana siapa yang berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Mencapai Raudah tidak semudah yang dibayangkan, apalagi baji jamaah perempuan sebab waktunya dibatasi dan tidak buka selama 24 jam. Tidak seperti untuk jalur lelaki yang lebih leluasa untuk berkunjung ke sana. Hingga bukan hal yang aneh jika tempat ini selalu penuh sesak oleh ribuan orang setiap harinya.
Bagian menyedihkan, beberapa jemaah rela menarik, mendorong atau bahkan menyakiti sesama untuk bisa sholat dan berdoa di bawah pilar hijau. Beberapa kali ke sana, rasanya belum pernah saya tepat sholat di antara pilar hijau tersebut, apalagi kondisi kesehatan dan badan saya yang mungil harus berhadapan dengan wanita-wanita asia yang tingginya menjulang. Saya memilih mengalah, sembari menangis dengan penuh harap bisa berdoa di sana.
Biasanya para wanita bisa berkunjung ke Raudah sehabis Subuh atau menjelang Dhuha. Hari itu kami rombongan dibantu oleh salah seorang Mukimin (orang tinggal di sana) untuk berziarah ke Raudah. Rombongan kami istimewa karena membawa 3 perempuan berusia lanjut (termasuk Mami) yang memiliki masalah kesehatan di kaki sehingga membutuhkan bantuan.
Sebelum masuk Raudah, kami dikumpulkan dalam satu lokasi oleh Askar. Diminta untuk duduk tenang sampai mendapat giliran untuk masuk ke dalam yang perjalanannya lumayan jauh. Sekitar 10-15 menit.
Tiba giliran kami. Saya kebagian menggandeng salah satu jamaah rombongan, sedangkan Mbak Dini, membantu membawakan kursi Mami. Rupanya pemimpin tadi membawa kami lewat jalur khusus, katanya itu jalan pintas bagi orang-orang menggunakan kursi roda atau keadaan khusus. Di depan pintu kami dicegat oleh dua orang Askar, pemimpin rombongan menjelaskan kondisi kami masing-masing. Hanya 3 orang yang boleh masuk, saya dan Mbak Dini ditolak karena terlihat sehat. Mbak pemimpin rombongan tadi menjelaskan kembali bahwa saya dan Mbak bertugas membantu 3 orang lansia ini. Alhamdulilah kami diperbolehkan masuk.
Perjalanan menuju Raudah jadi lebih pendek, kala itu masih belum terlalu ramai sehingga tidak terlalu berdesakan. Satu orang lansia yang bersama kami dicarikan tempat dekat pilar hijau kedua. Sedangkan, sisanya ikut dalam rombongan. Mami dan satu orang lagi tidak bisa mencapai depan akhirnya dikasih barisan kedua. Sedangkan saya dan Mbak Dini berada di barisan paling depan. Saya dan Mbak Dini bisa berdoa dan shalat dengan puas karena mendapatkan penjagaan yang ketat. Rupanya ini jawaban Allah beberapa tahun silam ketika saya pernah menangis di Raudah karena tidak bisa berdoa dengan khusus.
Saya tidak menyesal sepanjang perjalanan harus menjaga rombongan lansia karena rupanya Allah menitipkan rezeki tak terduga melalui mereka. Kemudah-kemudahan ini hadiah yang sungguh tak ternilai melebihi apapun. Di hotel saya dan Mbak masih takjub, sambil bertanya apakah ini mimpi?
Bagi saya rezeki itu bukan melulu berupa materi ada kalanya kejutan-kejutan kecil dari Allah bisa menjadi tak ternilai. Saya mungkin melakukan hal yang sederhana yaitu membantu salah satu nenek yang punya masalah lutut sama seperti Mami, tapi Allah mengganjarnya dengan sesuatu yang di luar nalar.
Yah, begitulah. Jangan bosan berbuat baik dengan sesama karena Allah punya banyak kejutan, seperti pengalaman umroh yang tidak terlupakan.